twitter


Bila kita teringat sejarah dunia di mana pada saat Perang Dunia II, setelah Nagasaki dan Hiroshima di bom oleh sekutu, langkah pertama yang ditempuh pemerintah Jepang, mendata kembali berapa jumlah guru dan dokter yang tersisa. Mereka mulai membangun negara yang porak-poranda dari bidang pendidikan dan kesehatan. Hasilnya sangat menakjubkan. Setelah kurang lebih 20 tahun, dengan kerja keras yang tak kenal lelah, Jepang mempu mensejajarkan negaranya dengan negara-negara maju lainnya. Lahirlah kekuatan baru di kawasan Asia saat itu. Untuk bidang pendidikan di kawasan Asia, Jepang juga sebagai negara terbaik, di samping India, Korea Selatan dan Singapura.
Kisah nyata itu menyadarkan kita, betapa besar peran guru dalam membangun suatu bangsa. Ironisnya, di negara kita tercinta, profesi guru dan peran guru, kurang diperhitungkan. Malah cenderung dikesampingkan. Pada masa rezim Orde Baru profesi guru malah identik dengan kemiskinan, dan  ketidakberdayaan, kelompok masyarakat yang tahan lapar, dan selalu cicerca dan dipuja. Profesi guru tidak membanggakan.
Guru adalah input pelarian dari anak orang miskin yang tidak berkecukupan, karena kehidupan yang jauh dari cukup sebuah keluarga, sehingga anaknya dimasukan ke sekolah guru. Potret Oemar Bakri seperti dikiaskan dalam sebuah lagu Iwan Fals yang jauh dari pantas. Dalam masa itu, kelompok Guru tidak lebih dari sekedar alat politik dari rezim yang berkuasa. Guru tidak lebih sekedar alat politik dari rezim yang berkuasa. Untuk membius kelompok ini, regim berkuasa saat itu, menganugerahkan gelar ”Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” dalam sebuah bait lagu.
Citra guru yang terbentuk di dalam dirinya sampai saat ini, menurut saya, bukanlah sosok berdasi, intelektual ulung dalam menyiapkan masa depan, tetapi sekedar sebagai pekerja penjual suara yang kerja kesehariannya berangkat subuh pulang malam, tetapi kering finansial. Praktis, citra guru teredusir sedemikian rupa di balik keagungan harapan yang meluap. Permasalahannya: bagaimana kita dapat membangun citra kita sendiri sebagai guru, agar peran dan profesionalitas kita terpenuhi?
UU Nomor 14 sudah disyahkan dan saat ini, apresiasi masyarakat semakin tinggi terhadap Guru, Pemerintah semakin sungguh-sungguh berupaya mensejahterakan Guru, media massa semakin gencar memberitakan tentang kinerja guru. Dari segi kemampuan ekonomis, guru tidak lagi dipandang sekedar sebagai pekerjaan yang tidak menjadi perhatian orang. Pergi pagi pulang petang pendapatan pas-pasan (P4).
Bagaimana dengan kita sendiri sebagai pelaku utama pendidikan, Penggerak pendidikan, Pemegang kendali pendidikan, Pencerdas anak bangsa,  yang dalam UU Dosen dan Guru disebut tenaga profesional. Sama dengan dokter, Pengacara dan lain-lain?
Banyak pernyataan kritis sering kita dengar, kita lihat, dan kita baca menyangkut eksistensi, kompetensi, dan kinerja kita sebagai tenaga profesional memang masih memprihatinkan.
Kenyataan rendahnya kompetensi, etos kerja, dan kinerja guru, seperti dikemukakan oleh Fasli Djalal, peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan menyebutkan hampir separuh dari sekitar 2,7 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar di sekolah. 75.648 di antaranya guru SMA. Pernyataan itu disampaikan berkenaan dengan wacana guru profesional dan guru kompeten sebagai syarat untuk memperoleh tunjangan profesi guru dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Pernyataan yang merujuk pada rendahnya kompetensi dan etos kerja guru itu juga pernah diungkapkan oleh menteri pendidikan pada masa itu Wardiman Djoyonegoro dalam wawancara di TPI tanggal 16 Agustus. Dalam wawancara itu Ia mengemukakan hanya 43 persen guru yang memenuhi syarat, artinya sebagian besar guru (57 persen) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional untuk melaksanakan tugasnya. Pantaslah kalau kualitas pendidikan kita jauh dari harapan dan kebutuhan dunia kerja.
Read More... - Guru Menuju Perubahan

Pemerintah berupaya mendongkrak citra guru yang terlanjur pudar bahkan sempat profesinya terabaikan dan dipandang sebelah mata. Dalam dasa warsa terakhir pemerintah terus menerus untuk mencari terobosan dan alternatif baru untuk memperbaiki mutu pendidikan. Di mulainya perubahan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional, selanjutnya terhadap kurikulum dan sampai kepada penyelenggaraan sertifikasi guru yang merupakan implementasi dari UU Nomor 14 Tahun 2005 yakni mewujudkan guru profesional.
Menjadi guru profesional bukan perkara gampang, ibarat membalikkan telapak tangan. Apalagi untuk menjadi guru baik. Citra guru yang baik, dapat mengangkat citra dan mutu pendidikan.
Mutu pendidikan yang baik, dapat mengangkat martabat bangsa. Tetapi permasalahannya, dari mana harus dimulai? Tentunya akan dimulai dari
(1) komitmen bersama. Untuk mencapai guru profesional harus di mulai dari komitmen bersama, kebersamaan ini diawali dengan keinginan yang sama antara pemerintah, masyarakat, guru itu sendiri, dan anak didik. Komitmen pemerintah dimaksudkan adalah bagaimana program pemerintah memberikan alokasi dana untuk guru untuk meningkatkan kualifikasi akademik guru, karena hampir 1,6 juta guru yang belum layak menjadi guru, dan ini akan berpengaruh terhadap upaya menciptakan guru profesional.
Masyarakat juga memiliki peran dan andil untuk dapat memberikan nuasa ketenangan bagi guru agar guru dapat tenang menjalankan tugas dan tanggungjawabnya, dan jangan justeru dicerca dan dijadikan komoditas informasi untuk disebarluaskan, akan tetapi masyarakat dapat duduk semeja dengan guru, sehingga sinergi terbangun, dan guru senantiasa akan meningkatkan progesionalnya.
(2) Guru sendiri. Untuk memperbaiki citra guru, mereka harus berani mengevaluasi dan mengkoreksi diri. Guru profesional itu, guru yang mengenal dirinya. Dirinya sebagai pribadi yang terpanggil untuk mendidik manusia, untuk menjadi guru merupakan panggilan hati. Untuk itu, guru dituntut untuk belajar sepanjang hayat (long life education).
Medan belajar adalah medan yang menyenangkan. Menjadi guru bukan hanya sebuah proses yang harus dilalui melalui test kompetensi dan sertifikasi. Karena menjadi guru menyangkut perkara hati. Maka mengajar harusnya menjadi profesi hati. Hati harus mendapat perhatian cukup, yaitu pemurnian hati, atau motivasi untuk menjadi guru profesional. Pemurnian hati itu, akan mendorong kita senantiasa meningkatkan kemampuan untuk membelajarkan siswa.
Paling tidak ada 4 kata kunci yang menjadikan guru itu menjadi penting. Tiga kata kunci itu sekaligus menjadi sifat dan karakteristik guru: kreatif, inovatif, profesional dan menyenangkan. Mengapa guru harus kreatif ? Karena harus memilah dan memilih materi pembelajaran. Dan kemudian secara kreatif menyajikan menjadi bahan pembelajaran yang yang penuh makna, dan bermutu.
Mengapa harus inovatif ? Karena guru harus senantiasa menemukan hal-hal yang baru, sehingga dapat merubah wawasan cakrawala dan daya imajinatif anak didiknya. Sedang sifat profesional, karena guru harus secara profesional membentuk kompetensinya sesuai dengan karakter peserta didik. Juga bagi dirinya. Berarti belajar dan pembelajaran harus menjadi makanan pokok guru.
Tetapi guru juga harus menyenangkan. Baik bagi dirinya sendiri maupun bagi peserta didik. Menjadi guru kreatif, profesional, dan menyenangkan itu akan terwujud, jika si guru mau secara terus-menerus meningkatkan kemampuan dan ketrampilan. Mau belajar, melalui lihat, dengar dan membaca.
(3). Meningkatkan Pengetahuan dan Ketrampilan. Guru sebagai profesional (sama dengan profesi dokter, pengacara, sekretaris, dan lain-lain), tanggungjawab utamanya mengawal perkembangan pribadi siswa. Peran pendampingan itu tidak mungkin akan berhasil jika guru tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang profesioanal. Guru profesional biasanya memiliki hal-hal seperti ini: (a) Penguasaan terhadap pengetahuan dan ketrampilan, (b) Memiliki kemampuan profesional di atas rata-rata, (c) Idealisme, (d) pengabdian yang tinggi, dan (e) Pantas secara moral dan perilaku menjadi panutan.
Read More... - Mengangkat Citra Guru

Siswa SMA merupakan siswa yang sedang masa-masanya ingin mengenali dirinya sendiri, selain itu bahwa masa SMA adalah masa yang paling indah, karena pada waktu itulah mereka akan meninggalkan masa kanak-kanak dan memasuki masa dewasa, atau yang disebut dengan masa remaja.
Masa remaja ini justru merupakan masa yang rentan, karena apabila anak salah bergaul maka celakalah mereka dalam menghadapi masa depannya, anak menjadi tidak stabil emosionalnya, oleh karena itu diharapkan masa remaja yang setiap orang akan melintasinya, diwarnai dengan nuansa keindahan atau bahkan akan memiliki kemampuan keterampilan sosial dalam kehidupan sehari-harinya.
Masa remaja dikenal dengan masa yang terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Pada masa remaja (usia 12 sampai dengan 21 tahun) terdapat beberapa fase (Monks, 1985), fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 1-0 tahun), remaja pertengahan (usia 15 tahun sampai dengan 18 tahun) masa remaja akhir (usia 18 sampai dengan 21 tahun) dan di antaranya juga terdapat fase pubertas yang merupakan fase yang sangat singkat dan terkadang menjadi masalah tersendiri bagi remaja dalam menghadapinya.
Fase pubertas ini berkisar dari usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 16 tahun dan setiap individu memiliki variasi tersendiri. Masa pubertas sendiri berada tumpang tindih antara masa anak dan masa remaja, sehingga kesulitan pada masa tersebut dapat menyebabkan remaja mengalami kesulitan menghadapi fase-fase perkembangan selanjutnya. Pada fase itu remaja mengalami perubahan dalam sistem kerja hormon dalam tubuhnya dan hal ini memberi dampak baik pada bentuk fisik (terutama organ-¬organ seksual) dan psikis terutama emosi.
Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-¬aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif.
Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani di sekolah (pada umumnya masa remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah) tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan kelebihan energinya ke arah yang tidak positif, misalnya tawuran. Hal ini menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam lingkungannya.
Mengingat masa remaja merupakan masa yang paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya dan dalam rangka menghindari hal-hal negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, remaja hendaknya memahami dan memiliki keterampilan sosial atau yang disebut kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional keterampilan sosial ini terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana remaja mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan dan menipu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif.
Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Kecerdasan emosional nampak terlihat pada kemampuan merasakan, memahami dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut pemilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari, dan intinya, kecerdasaan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pandai menggunakan emosi.
Read More... - Mengenal Masa Remaja Siswa

Etos kerja merupakan sebuah hakiki dari sebuah organisasi atau lembaga, dan etos kerja akan menjadi kunci di dalam keberhasilan jalan suatu organisasi atau lembaga, etos kerja akan menjadi acuan oleh pelaksana organisasi di semua lini mulai dari pimpinan, staff sampai kepala pelaksana unit.
Dalam kamus Webster, etos didefinisikan sebagai keyakinan yang berfungsi sebagai panduan tingkah laku bagi sekelompok orang atau sebuah institusi (guiding beliefs of a group or institution). Jadi etos kerja dapat diartikan sebagai doktrin kerja yang diyakini oleh sekelompok orang sebagai baik dan benar yang mewujud nyata secara khas dalam perilaku kerja mereka.
Pandangan cerdas E.F. Schumacher dalam bukunya Small Is Beautiful lebih mempertajam peranan etos kerja ini. Schumacher berkata bahwa pembangunan tidak dimulai dengan barang, tetapi dimulai dari manusia: pendidikannya, organisasinya dan disiplinnya. Tanpa ketiga komponen ini, semua sumberdaya tetap terpendam tak dapat dimanfaatkan. Schumacher menegaskan sumberdaya material atau uang bersifat sekunder. Yang primer ialah sumberdaya manusia.
Tesis ini sebenarnya mula-mula dikemukakan oleh Max Weber dalam analisanya tentang kemajuan bangsa Jerman secara umum dimana etos Calvinisme di tingkat ekonomi ternyata berhasil menjadi basis bagi pengembangan kapital bangsa itu. Di Asia, etos Samurai juga telah dikenali sebagai basis kemajuan ekonomi bangsa Jepang yang spektakuler usai perang dunia kedua.
Jansen Sinamo dalam bukunya Ethos21: Etos Kerja Profesional di Era Digital (2002) menata tiga elemen tesis Schumacher menjadi etos kerja, pengetahuan, dan ketrampilan organisasional. Senafas dengan Schumacher, Sinamo menegaskan bahwa etos kerja adalah elemen sukses paling primer. Ibarat pohon, etos kerja adalah akarnya, pengetahuan adalah batangnya, keterampilan organisasional adalah daun dan rantingnya, sedangkan uang dan barang-barang material adalah buahnya.
Namun, meskipun etos kerja merupakan komponen paling primer, ternyata ia tidak selalu membawa sukses signifikan apabila pengetahuan dan ketrampilan organisasional tidak berkembang proporsional. Hal ini dikemukan Mohammad Sobary dalam bukunya kesalehan dan tingkah laku ekonomi (1996).
Sobary menyimpulkan bahwa etos kerja yang baik tanpa diimbangi dengan pengetahuan ekonomi (misalnya apa produk yang disukai pasar, apa hambatan usaha yang ada, siapa pesaing-pesaing yang ada) dan keterampilan organo-manajerial (misalnya bagaimana membentuk lembaga-lembaga ekonomi, memobilisasi modal, menjalankan perusahaan secara efisien) yang memadai maka sukses komersial yang mungkin dicapai akan sangat terbatas.
Secara khusus, berangkat dari ketiga tesis pendahulunya, Jansen Sinamo menyimpulkan bahwa etos kerja adalah basis keberhasilan di tiga tingkat: personal, organisasional dan sosial. Dalam bukunya, Sinamo membuktikan bahwa pengembangan etos kerja profesional di perusahaan akan memperkuat karakter sang manusia pekerja, mempertinggi kompetensi profesional mereka, dan menghasilkan kinerja-kinerja unggul sebagai buahnya. Dalam bahasa ringkas Jansen Sinamo memproklamirkan bahwa kekuatan sebuah organisasi termasuk suatu bangsa ditentukan oleh etos kerja warganya.
Jansen Sinamo WorkEthos Training Center percaya bahwa organisasi yang sukses adalah organisasi yang bertindak sebagai agen pembawa rahmat bagi masyarakat dan kemanusiaan secara luas. Dalam idiom bisnis konsep ini diterjemahkan sebagai wealth creation atau profit making yang memenuhi syarat-syarat good corporate governance maupun corporate excellence.
Organisasi demikian ditandai dengan kukuhnya sejumlah infrastruktur organisasi unggul, yakni: visi bisnis yang jauh membentang, misi organisasi yang kuat mengikat, strategi usaha yang padu serasi, nilai-nilai dasar yang koheren holistik, falsasah usaha yang ideal harmonis, perilaku kerja yang konsisten positif, berwatak ramah budaya dan serasi lingkungan serta orientasi kerja pada keunggulan insani berdasarkan the spirit of success yang kemudian tampil sebagai sehimpunan etos kerja profesional.
Sebagai pusat pembentukan dan pengembangan etos kerja profesional Jansen Sinamo Work Ethos Training Center adalah perintis pertama dan pionir dalam studi dan pengembangan etos kerja di Indonesia. Dalam konsep yang dikembangkan oleh Jansen Sinamo digagas pentingnya delapan paradigma kerja profesional, yaitu: kerja adalah rahmat, kerja adalah amanah, kerja adalah panggilan, kerja adalah aktualisasi, kerja adalah ibadah, kerja adalah seni, kerja adalah kehormatan, dan kerja adalah pelayanan.
Di tingkat perilaku kerja kedelapan paradigma ini akan membuahkan delapan perilaku kerja utama yang sanggup menjadi basis keberhasilan baik di tingkat pribadi, organisasional maupun sosial, yaitu: bekerja tulus, bekerja tuntas, bekerja benar, bekerja keras, bekerja serius, bekerja kreatif, bekerja unggul, dan bekerja sempurna.
Read More... - Etos Kerja